Singgung Aturan Pengeras Suara Masjid di Arab Saudi, Yaqut: Kalau Ribut Berarti Kurang Piknik

Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas menyinggung aturan penggunaan pengeras suara di Arab Saudi saat memberikan sambutan di Konferensi Besar (Konbes) XXV Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada Rabu (30/3/2022). Pada awal sambutan, Yaqut mengaku dirinya harus segera kembali ke Jakarta karena adanya pertemuan dengan Menteri Urusan Islam, Dakwah dan Penyuluhan Arab Saudi, Syekh Abdullatif bin Abdulaziz. “Mohon maaf setelah ini saya harus pulang dulu, kembali dulu ke Jakarta, karena tamu saya Menteri Urusan Agama Islam Saudi nanti malam akan kembali ke negaranya, saya harus mengantarkan beliau di bandara,” ujarnya, dikutip dari kanal YouTube GP Ansor.

Selanjutnya Yaqut pun juga mengatakan terkait kesamaan antara Arab Saudi dengan Indonesia. Salah satu kesamaan yang Yaqut maksud adalah terkait aturan pengeras suara di masjid. Ia pun juga menyebut orang yang meributkan masalah aturan pengeras suara di masjid dikarenakan kurang piknik.

“Tapi alhamdulillah seperti berita yang kita baca, kita dengar, kita saksikan, ternyata di Saudi itu sama dengan di Indonesia, urusan toa pun diatur.” “Jadi kalau orang ribut urusan toa berarti kurang piknik,” jelasnya. Kemudian Yaqut pun mendoakan agar orang yang meributkan masalah toa itu bisa piknik atau setidaknya dapat umrah ke Arab Saudi.

“Jadi yang ribut ribut itu kita doakan bisa piknik, setidaknya umrahlah, nanti di Saudi supaya tahu bahwa toa itu juga diatur di Saudi sana, bukan hanya di Indonesia,” katanya. Selanjutnya, Yaqut pun bertanya kepada peserta yang hadir, apakah dirinya akan meributkan kembali masalah pengeras suara ini. Pertanyaan Yaqut pun disambut dengan tawa dari para peserta.

“Ini mau ribut lagi nggak soal toa kira kira? Kalau saya teruskan ribut lagi ini pasti,” tanya Yaqut yang disambut dengan gelak tawa para peserta. Dikutip dari , Kementerian Urusan Islam, Dakwah dan Penyuluhan Arab Saudi mengeluarkan ketentuan tentang batas volume pengeras suara dalam di masjid masjid negara tersebut. Berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan, tingkat kelantangan pengeras suara di dalam masji tiak diperbolehkan melebihi sepertiga dari batas maksimal.

“Kementerian juga menyerukan kepada para pengurus masjid untuk terus mematuhi surat edaran yang menetapkan pembatasan penggunaan pengeras suara luar hanya untuk azan dan ikamah,” tulis ketentuan tersebut. Sementara Menag Yaqut mengeluarkan surat edaran yang mengatur pengeras suara di masjid dan musala. Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menag No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjiddan Musala.

Dikutip dari , keluarnya surat edaran ini untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial. “Pedoman diterbitkan sebagai upaya untuk meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat,” tutur Yaqut pada 21 Februari 2022. Keluarnya surat edaran ini pun menimbulkan polemik di masyarakat.

Contohnya adalah anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf yang mengkritik aturan tersebut. Dikutip dari , ia menilai aturan itu mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat, mengingat jangkaua dari edaran tersebut tidak hanya dialamatkan kepada masjid atau musala yang berada di wilayah perkotaan tetapi juga di wilayah pedesaan. “Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia.”

“Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid,” ujarnya pada 22 Februari 2022. Selain itu kritik juga dilayangkan oleh Wali Kota Depok, Mohammad Idris. Dikutip dari Kompas.com , Idris menganggap aturan tersebut perlu dikaji ulang karena menurutnya aturan itu sulit terlaksana di tengah kondisi budaya masyarakat Indonesia.

“Iya, ini pun menurut saya perlu dikaji, ini kan sifatnya bisa dikatakan tidak hanya sekedar membuat peraturan.” “Kadang kadang kita membuat aturan tidak kurang fisibel dengan kondisi budaya masyarakat, kadang kadang ya,” ujarnya pada 25 Februari 2022 lalu. Idris juga khawatir kebijakan ini bersifat otoriter jika dilakukan tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat.

“Jadi ini bisa jadi sebuah kebijakan, sebab nanti kalau apa apa kita (pemerintah) keluarkan kebijakan tanpa dilakukan itu (mendengarkan aspirasi masyarakat) itu akan menjadi sebuah sikap otoriter yang kurang bagus,” kata Idris.

Tinggalkan Balasan